Mas Robby is calling, begitu yang aku baca di layar ponselku.
Mas Robby, teman
yang selalu siap mendengarkan curhatanku, meminjamkan bahu saat aku menangis, sudah dua tahun lebih kita tidak pernah bertemu,
kangen rasanya.
“Hai …..mas, gimana
kabarnya ?”.
“Hai juga, aku baik “
“Tumben
telepon…..ada apa ?”.
“Hei….temen kamu,
meninggal”
“Yang mana …mas ?”
“Yang kerja di
asuransi, siapa namanya….lupa aku !”.
“Yurry….?”
“Iya….dia meninggal”.
“Ah….yang bener mas
!”.
“Eh…ngapain juga becanda,
aku barusan dikabari sama Pak Dhe, kalau nggak percaya telepon aja sendiri”.
“Innalillahi wa
innaillaihi roji’un, sakit apa kecelakaan mas ?”
“Katanya sih…kanker
otak”.
“Ya…Allah”.
“Yo…wis ya, aku cuma
ngabari itu tok”.
“Ok…mas, makasih”.
Sejenak Christin
duduk dan terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kenangan bersama
laki-laki itu tiba-tiba menyeruak memenuhi pikirannya. Entah itu nonton, makan,
diskusi atau sekedar ngobrol. Masih
jelas juga teringat ketika Christin begitu inginnya untuk menampar laki-laki itu
yang dengan sengaja merelakan tubuhnya
dirangkul mesra seorang perempuan di café biasa mereka kencan.
“Aku harus pergi
dari sini”.
“Hei…..mau di kemana
kan empat tahun itu ?”.
“Empat tahunku
bersama dia sudah hilang ketika dia membawa perempuan itu !”.
“Christ…..coba dulu bicara
dari hati ke hati ”.
“Aku butuh cinta
mas, tapi aku tidak akan pernah mengemis cinta”.
“Christ…..dengarkan
aku dulu, Kamu tidak bisa memutuskan
hubungan ini secara sepihak”.
“Maaf mas…. Dia
lebih dulu melakukan ini secara sepihak”.
“Christ….!”
Dua tahun berlalu,
Christin akhirnya kembali menemui laki-laki itu yang sudah terbujur kaku
berbalut kain kafan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar