Home

Selasa, 14 Juni 2011

Chapter One

" Mbak Ira, kemarin ibu ngobrol sama Tya ". 
" Ngobrol apa to bu ?" tanyaku. 
" Eh....ibu itu suka sedih nglihat masnya Tya, hampir separo gajinya dipake buat biaya operasional rumah ini, untung tenan mbakyumu kuwi bukan type perempuan yang suka minta ini itu ".
" Saya sama Mas Wira itu sudah sepakat buat bagi-bagi tugas koq, gajinya Mas Wira buat pengeluaran bulanan, lha gaji Saya buat ditabung ".
Itulah sepenggal obrolanku dengan mertua dan adik iparku.


Sejak menikah aku dan Mas Wira memang masih tinggal dirumah orangtuanya. Itupun atas permintaan ibu mertuaku, karena orangtua Mas Wira sudah tidak berpenghasilan dan masih ada adik Mas Wira yang masih perlu bantuan. Hal ini sudah lama dilontarkan sama mertuaku menjelang aku dan Mas Wira nikah. Tidak ada yang aneh dengan permintaan ibu, toh Bapak Ibuku sendiri juga sama, bedanya kelima anak-anaknya sudah mentas semua.
Setelah menikah, aku ajak mas Wira untuk membuat simulasi perencanaan keuangan untuk nantinya di crosscheck dengan realisasinya. Tapi sepertinya mbleset semuanya, banyak hal-hal diluar dugaan yang terjadi yang mengharuskan aku dan mas Wira menguras tabungan. Sebelum aku dan mas Wira menikah, ibu memang pernah cerita kalau ada emas warisan keluarga yang sayang bila dijual ke orang lain, akhirnya ibu membawanya ke pegadaian dan menawarkan ke anak-anaknya dan adik-adik bapak untuk menebus. Dulu aku sama mas Wira memang sudah patungan untuk nyicil nebus emas tapi karena kekurangtahuan kita soal gaden akhirnya banyak tanggungan yang ngendon dan harus segera ditebus dalam waktu tiga bulan setelah kita menikah, dan jumlahnya nggak tanggung-tanggung, mungkin bisa nyampe kurang lebih sembilan jutaan. Aku sama mas Wira sempat shock dengarnya, apalagi aku tahu mas Wira orangnya paling sensi kalau sudah bicara masalah uang. Pelan-pelan aku ajak bicara masalah ini, aku nggak tahu siapa yang milih, entah ibu atau mas Wira sendiri, tapi yang aku tahu sekarang ada tiga perhiasan emas 22 - 23 karat dengan berat kurang lebih 15 gr yang harus segera ditebus. Hanya ada satu jalan, deposito, aku tahu berat buat mas Wira untuk mencairkan karena itu adalah uangku, simpananku sebelum aku bertemu dengan mas Wira, dan baru aku pakai untuk biaya nikah, dan uang hasil buwuhan, oleh mas Wira diberikan semuanya ke aku sebagai ganti. Tapi sekarang, uang itu harus keluar lagi untuk diubah menjadi "harta yang tidak produktif" mengutip istilah dari seorang perencana keuangan Safir Senduk.
Belum hilang shock karena gaden, sekarang aku dan mas Wira sudah dibuat kaget lagi, karena diam-diam ibu membeli springbed buat kita, alasannya kasihan kalau lihat aku dan mas Wira tidur terpisah, aku diatas dan mas Wira dibawah, karena aku sekarang sudah hamil. Padahal kita berdua fine-fine aja. Di awal sih, ibu bilang, kalau yang nyicil kasur ini, biar ibu saja. Mas Wira pasti tahu kalau aku kurang begitu suka dengan keputusan ibu beli kasur, dan itu bisa terbaca ketika aku tanya, " Berapa harganya, mas ?".
Mas Wira cuma jawab, " Sudah nggak usah dipikirin ". 
Tetep aja aku keukeuh nanya, " Berapa koq ?!".
Akhirnya dengan berat hati dia jawab, " Tiga juta lebih, tapi ibu yang bayarin ".
" Duitnya darimana ?". 
" Nggak tahu !".
" Hmmmm..............". 
Baru juga nyicil sekali, aku lihat ibu kelihatan murung kayak banyak pikiran. Aku coba tanya ke mas Wira, " Mas, aku lihat akhir-akhir ini, ibu koq murung ya, kayak ada yang dipikirin, mikirin apa to mas ?".
" Ya coba kamu tanya sendiri sama ibu ".
" Weleh. ya mana mungkin mau ngaku mas ". 
" Mikirin Tya kali ya mas, wajarlah namanya juga orangtua, tapi adikmu itu emang nggak tahu ya, ga ngerti aku ". Tapi pikiranku masih berusaha keras untuk mencari tahu kenapa ibu murung seperti ini, nggak mungkin kalau cuma masalah tya, pasti ada yang lain. Dan tiba-tiba saja pikiran itu muncul, " Jangan-jangan, gara-gara cicilan kasur, Mas !".
" Ya, pasti gara-gara itu ibu murung !".
" Ya, coba nanti aku tanya sama ibu ". 
Dan akhirnya suatu saat, tanpa banyak bertanya, mas Wira minta kartu cicilan kasur ke ibu, entah apa yang ada dipikiran ibu saat itu, senangkah atau mungkin merasa bersalah, aku tidak tahu. 


Beberapa bulan menikah, aku merasa kasihan melihat mas Wira, dia pernah bilang, seperti merasa dibodohi, aku  hanya bilang, " Itukan karena salah  Mas Wira sendiri, sampeyan selalu emosi dulu kalau diajak ngomong masalah uang, padahal sebagai salah satu tulang punggung keluarga, sampeyan itu juga punya hak untuk bertanya, bahkan untuk membatasi pengeluaran". Mas Wira hanya bisa diam dan merenung, entah apa yang ada difikirannya saat itu. 
Diam-diam dikantor, aku selalu mencari informasi tentang kiat-kiat mengelola keuangan keluarga, kemudian aku pelajari, kalau sekiranya bagus dan bisa aku aplikasikan di rumah tanggaku, aku print dan aku tunjukkan ke suamiku. Dari situ juga, diam-diam aku buat buku pengeluaran keluarga, dan di akhir bulan, aku tunjukkan ke mas Wira, dan dia senang karena sekarang dia sudah punya sekretaris merangkap manager keuangan pribadi. Aku bilang ke mas Wira, " Tahun-tahun awal permikahan, memang tahun yang berat buat pasangan baru, karena secara finansial belum stabil, jadi kita berdua musti sabar ya mas".






               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar